Apa Yang Salah dengan Ojek Online, Pak Prabowo?
Hari-hari saya selalu ada ojek online.
Mulai antar jemput anak ke sekolah, kerja, bahkan kalau pas tidak ada makanan di rumah, saya selalu pakai aplikasi ojek online. Sangat membantu.
Mobil saya pinggirkan dan baru dipakai saat weekend dan liburan. Enak. Apalagi di Jakarta yang macet, terjebak dengan ganjil genap, cari parkir yang susah. Dengan transportasi online, saya sudah sampe di depan pintu gedung kantor tanpa harus bingung mau parkir dimana.
Hidup jadi semakin mudah. Dan saya berterimakasih pada pencipta aplikasi ini dan pengemudinya. Tanpa mereka, saya pasti bingung membagi antara tugas bepergian sampai mengantar jemput anak yang waktunya suka bersamaan.
Dan yang paling menarik adalah mengobrol dengan driver online. Sambil jalan, kita cerita, diskusi bahkan saling kenal. Ternyata driver online banyak juga yang dari mahasiswa, yang menjadikan pekerjaan ini sebagai bantuan untuk membayar kuliah. Banyak juga yang punya bisnis lain. Malah teman saya yang driver ojek online, setiap weekend padat dengan kerjaan shooting manten.
Dengan semua perkembangan zaman, tidak mudah beradaptasi dengan teknologi. Dan saya kagum dengan para driver online ini yang tidak gagap dengan teknologi. Mereka sangat update. Bahkan saking updatenya, ada juga yang jago curangin aplikasinya.
Dengan semua kemudahan yang membuat saya dan pasti banyak orang lain yang terbantu itu, lalu apa maksud pak Prabowo Subianto bilang, “miris melihat lulusan SMA berprofesi jadi driver ojek online ?”
Pekerjaan driver online itu tidak hina, pak Prab. Sama sekali tidak. Mereka adalah pahlawan bagi saya. Tanpa mereka, saya ampun harus membagi waktu kerja dan antar jemput anak kemana-mana. Saya harus berterimakasih pada mereka dan selalu memberi bintang 5 sebagai rasa terimakasih saya.
Mereka ada karena kami butuh. Seandainya semua orang harus menjadi pengusaha, profesor, manajer bahkan orang kaya versi pak Prab, lalu siapa yang membantu kami mengantarkan anak-anak sekolah disaat yang sama kami masih kerja? Lalu siapa yang mengantar makanan ke rumah disaat kami sedang ingin santai seharian?
Apakah mungkin pengusaha, profesor atau manajer itu?
Apa yang salah dengan menjadi driver online? Hinakah sehingga membuat bapak miris? Lebih hina mana dengan pasukan nasi bungkus yang rindu order setiap habis shalat Jumat berlangsung? Atau lebih hina mana dengan Zumi Zola yang sekarang sedang menangis minta keringanan hukuman karena tertangkap korupsi?
Saya yakin, bapak belum pernah sekalipun pakai aplikasi ojek online, memesannya dan menaikinya sampai tujuan. Bapak sejak kecil semua ada, tinggal tunjuk saja. Bapak mungkin belum pernah merasakan jadi keluarga kelas menengah yang ribet dengan segala urusan kemana-mana.
Tetapi setidaknya empatilah…
Empati itu murah, pak Prab. Tidak perlu bayar mahal, cukup dengan kerendahan hati saja. Cukup mau turun ke bawah dan melihat dengan benar situasi disana. Jangan cuma pidato di panggung dan kemudian pergi dengan mobil mewah. Biasakan bergaul dengan rakyat biar hati bapak terasah. Jangan terkungkung terus di rumah dengan luas tanah belasan hektar tanpa pernah berkunjung ke tetangga.
Saya adalah pengguna ojek online dan sangat terbantu dengan mereka. Saya tidak perlu miris dengan pekerjaan mereka. Tanpa mereka, bagaimana hidup saya ? Susah, Ferguso..
Dan tahukah, bapak ? Seorang teman yang berprofesi sebagai driver ojek online berhasil menjadikan 2 anaknya sarjana ? Bapaknya bangga, anaknya pun bangga. Lalu dimana kebanggaan seorang anak ketika tahu bahwa bapaknya yang pintar, berprestasi, punya jabatan penting tertangkap karena korupsi ? Dimana kebanggaannya ??
Ah, panjang kali saya cerita. Sampai dingin kopi saya. Kebetulan saya ngopi di warung kopi tiga rebu rupiah, yang didirikan oleh seorang bapak yang hanya bisa lulus SMA. Tanpa beliau ini, saya mungkin harus ngopi di cafe yang bahkan harga satu kopi cukup untuk beli kuota sebulan lamanya..
Sudah, saya mau seruput dulu pak Prab. Mendengar anda pidato, saya jadi merasa wik wik wik di hati dan ah ah ahhh di dada..
Salam satu aspal, pak.
Denny Siregar