Desember 5, 2024
Petir menyambar di kantor majalah Tempo….

Hari itu, 21 Juni 1994, Tempo dilarang terbit kembali sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Istilah dilarang terbit itu dulu dikenal dengan nama “breidel”. Bukan hanya Tempo, majalah Editor dan tabloid Detik juga mendapat surat yang sama.

Apa pasalnya?

Ternyata Soeharto marah besar karena ketiga media itu memberitakan pembelian pesawat eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Dan melalui “Mr Yes Man” bernama Harmoko yang pada saat itu menjabat Menteri Penerangan, keluarlah surat pelarangan itu. Departemen Penerangan dulu sangat digdaya dalam menghentikan media pers jika “ada yang tidak suka”.

Melalui Departemen Penerangan (sekarang bernama Kementerian Kominfo RI ) inilah, Soeharto mengatur jalur informasi sesuka mereka. Informasi yang keluar harus yang baik-baik saja, tidak boleh melakukan kritik kepada pemerintah apalagi kepada keluarga Cendana.

Dengan pengaturan jalur informasi itu, Soeharto dan kroninya bisa dengan leluasa membangun mimpi bangsa Indonesia sedangkan mereka bisa mengeruk banyak kekayaan negeri ini tanpa ada yang berani mengkritik, mungkin juga tidak tahu bahwa kekayaan alam Indonesia sedang dirampok besar-besaran.

Sebagai contoh masalah swasembada pangan.

Di tahun 1985, dalam Konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO), Soeharto mendapat penghargaan karena tahun sebelumnya dinilai berhasil melakukan swasembada pangan. Soeharto dengan gagahnya kemudian mengirim 100 ribu ton untuk bangsa Afrika yang sedang kekeringan.

Berita itu dibesar-besarkan oleh media pemerintah, terutama stasiun televisi satu-satunya yaitu TVRI. Pokoknya Soeharto kerenlah pada masa itu, begitu yang diyakini publik yang terpengaruh asupan informasi sepihak.

Ternyata di dalam negeri sendiri tidaklah segagah itu. Pada tahun 1984 itu juga, Indonesia masih mengimpor lebih dari 400 ribu ton beras. Jadi kita sejak dulu memang masih belum bisa memenuhi kebutuhan pokok sendiri. Tapi siapa yang berani membongkar data itu pada tahun dimana Soeharto berkuasa? Bisa dituding PKI, mampus deh.

Sebagai catatan, tudingan PKI pada masa orde baru adalah senjata ampuh Soeharto untuk melemahkan lawan politiknya. Mirip-mirip dengan yang tuding PKI sana sini pada masa sekarang.

Dan ternyata memang berita “swasembada pangan” era Soeharto itu hanyalah fatamorgana.

Sesudah penghargaan dari FAO, Indonesia terus impor beras dari luar. Bahkan pada tahun 1995 saat Soeharto masih menjabat, impor beras Indonesia mencapai 3 juta ton. Dan rapuhnya pondasi pangan Indonesia mencapai puncaknya ketika Soeharto jatuh pada 1998.

Sesudah keran informasi terbuka lebar, akhirnya ketahuan bahwa antara daya konsumsi beras masyarakat kita ternyata lebih kuat dari daya produksi kita. Indonesia mencapai titik tertinggi dalam impor beras pada tahun 1998 sebanyak 6 juta ton.

Jadi yang selalu dibilang “Enak zaman Soeharto” ternyata hanya fatamorgana belaka.

Fatamorgana yang dibangun oleh media-media yang dikuasai oleh pemerintahan orde baru dan inilah yang diyakini oleh orang-orang yang rindu Soeharto hasil propaganda selama 32 tahun lamanya.

Makanya saya ketawa ketika seorang teman mengunggah status gambar Soeharto sedang melambaikan tangan, dengan caption, “Piye enak zamanku toh?”

Sambil seruput kopi, saya teringat laporan lembaga Transparency International 2004 yang menempatkan Soeharto sebagai kepala negara terkorup di dunia. Lha, gimana gak enak? Duduk di tumpukan uang triliunan rupiah jelas enak lah.

Tapi tentu tidak seenak kemerdekaan diri karena tidak punya beban masa lalu, sambil seruput kopi pagi. ( tagar.id )

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: